Pencalonan Kepala Daerah Pasca Putusan MK 135/2025: Momentum Memperkuat Demokrasi Lokal
Pencalonan Kepala Daerah Pasca Putusan MK 135/2025:
Momentum Memperkuat Demokrasi Lokal
Oleh Elyaser Lomi Rihi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2025 menjadi titik penting dalam dinamika demokrasi elektoral di Indonesia, terutama dalam konteks pencalonan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi menegaskan perlunya membuka ruang pencalonan yang lebih inklusif dan transparan, dengan menempatkan prinsip kesetaraan politik sebagai landasan utama. Dalam amar putusannya, pembatasan yang bersifat eksklusif terhadap proses pencalonan bertentangan dengan prinsip konstitusional kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan ini tidak berdiri dalam ruang kosong, tetapi menjadi jawaban atas ketegangan yang telah lama mengiringi relasi antara demokrasi elektoral lokal dan oligarki partai politik. Secara substansial, keputusan tersebut memberikan sinyal kuat bahwa demokrasi lokal seharusnya menjadi ruang terbuka bagi partisipasi rakyat, bukan arena terbatas yang dikendalikan oleh segelintir elite.
Dalam kerangka teori demokrasi, kebijakan yang memperluas hak pencalonan selalu berkaitan erat dengan gagasan partisipasi politik yang substantif. Seperti ditegaskan oleh Robert A. Dahl dalam karyanya Polyarchy: Participation and Opposition (1971), demokrasi modern hanya dapat bertumbuh jika warga negara memiliki akses nyata untuk ikut menentukan siapa yang memerintah dan bagaimana pemerintahan dijalankan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi bentuk koreksi terhadap struktur politik lokal yang selama ini cenderung tertutup dan hierarkis. Ketika pencalonan kepala daerah hanya dimonopoli oleh partai politik tertentu, proses demokrasi terancam kehilangan daya hidupnya. Pembukaan ruang bagi pencalonan yang lebih luas bukan sekadar langkah hukum, melainkan strategi politik untuk mengembalikan demokrasi lokal kepada rakyat.
Di arena politik, konsekuensi dari putusan ini akan terasa langsung dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Pencalonan bukan lagi sekadar soal memenuhi syarat administratif, tetapi menjadi penanda apakah demokrasi lokal sungguh-sungguh inklusif. Dalam konteks ini, kualitas calon pemimpin menjadi sangat krusial. Rekam jejak, integritas, pengalaman, dan kapasitas kepemimpinan akan menjadi faktor pembeda. Pemimpin yang dibutuhkan bukan hanya sosok yang populer, tetapi yang mampu membawa arah pembangunan jangka panjang. Seperti dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014), tata kelola yang baik sangat bergantung pada “the quality of leadership and state capacity”. Tanpa pemimpin berkualitas, demokrasi hanya akan berhenti pada ritual elektoral lima tahunan.
Namun demokrasi elektoral lokal tidak dapat dilepaskan dari tantangan klasik yang terus menghantui proses pencalonan yakni politik uang, nepotisme, dan dominasi elite. Politik uang menggerus integritas proses demokrasi dan menjadikan kedaulatan rakyat sebagai komoditas transaksional. Nepotisme menutup peluang bagi calon alternatif yang sebenarnya memiliki kapasitas lebih baik. Transparansi pendanaan kampanye dan akuntabilitas politik menjadi benteng utama agar demokrasi lokal tidak direduksi menjadi arena perebutan kekuasaan yang sempit. Putusan MK 135/2025 membuka ruang hukum, tetapi keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh pengawasan masyarakat sipil, independensi penyelenggara pemilu, dan keberanian pemilih untuk tidak tunduk pada tekanan pragmatis.
Kualitas demokrasi juga sangat bergantung pada kesadaran pemilih. Pemilih tidak boleh diposisikan sebagai objek kampanye, tetapi sebagai subjek politik yang menentukan arah kebijakan. Pemilih cerdas akan menilai calon berdasarkan gagasan, program, dan rekam jejak, bukan karena popularitas atau kedekatan personal. Literasi politik menjadi pondasi utama agar masyarakat dapat menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab. Dalam konteks ini, media massa dan organisasi masyarakat sipil memegang peran penting dalam menyediakan informasi yang jernih dan objektif. Sebagaimana ditegaskan oleh Joseph E. Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012), sistem demokrasi modern akan rapuh jika akses terhadap informasi dikendalikan oleh kelompok tertentu yang berkepentingan.
Pencalonan kepala daerah juga tidak dapat dilepaskan dari prinsip inklusivitas. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi ruang bagi semua kelompok, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, kaum muda, dan kelompok minoritas. Representasi politik yang luas memperkaya perspektif dalam pengambilan kebijakan dan memperkuat legitimasi kepemimpinan. Putusan MK 135/2025 mengandung pesan bahwa demokrasi lokal bukan hak istimewa elite politik, tetapi hak politik setiap warga negara. Dalam konteks ini, partai politik dituntut untuk bertransformasi dari sekadar mesin elektoral menjadi lembaga rekrutmen politik yang terbuka dan meritokratis.
Perkembangan teknologi digital juga menghadirkan dimensi baru dalam pencalonan kepala daerah. Platform media sosial menjadi ruang kampanye utama, namun sekaligus membuka celah penyebaran disinformasi. Literasi digital menjadi prasyarat penting agar pemilih tidak mudah dimanipulasi opini politiknya. Teknologi dapat memperluas partisipasi, tetapi juga dapat mempercepat proses distorsi informasi. Karena itu, tanggung jawab calon pemimpin dalam menggunakan teknologi secara etis menjadi sangat krusial.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2025 memberikan peluang besar untuk memperkuat demokrasi elektoral lokal di Indonesia. Namun peluang itu hanya akan menjadi kenyataan jika seluruh elemen masyarakat, partai politik, penyelenggara pemilu, dan pemilih benar-benar mengawal prosesnya. Demokrasi lokal tidak cukup hanya dijalankan, tetapi harus dijaga dari penyimpangan dan manipulasi. Seperti diingatkan Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, “Democracy does not guarantee equality of conditions, but it guarantees equality of opportunity.” Ruang politik yang terbuka bukan jaminan lahirnya pemimpin baik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk memilih yang terbaik. Dari kota kecil, dari desa terpencil, masa depan demokrasi Indonesia sedang ditulis ulang melalui proses pencalonan kepala daerah. Putusan MK 135/2025 bukan sekadar teks hukum, melainkan momentum politik untuk mengembalikan demokrasi lokal kepada rakyat, tempat kedaulatan seharusnya berada.