Opini

Kearifan Lokal Menuju Demokrasi Berkeadaban, Ikhtiar Menjaga Demokrasi Tetap Berakar

Kearifan Lokal Menuju Demokrasi Berkeadaban: Ikhtiar Menjaga Demokrasi Tetap Berakar  Catatan  dari  Indonesian Association for Public Administration (IAPA) 2025  Annual Conference & Congress, Undana Kupang Oleh: Baharudin Hamzah   Di penghujung Oktober 2025, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menjadi ruang perjumpaan gagasan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana (Undana) menjadi tuan rumah perhelatan besar Indonesian Association for Public Administration (IAPA) 2025. Konferensi dan kongres tahun ini tidak hanya menjadi ruang diskusi akademik, melainkan ruang perenungan kolektif tentang ke mana arah ilmu administrasi publik Indonesia hendak dibawa. Tema yang diangkat “Indigenous Public Administration: Bridging Tradition, Innovation, and Governance for a World-Class Public Sector”, mengandung pesan mendasar bahwa tata kelola pemerintahan masa depan tidak boleh tercerabut dari akar budaya yang menjadi sumber identitas, sekaligus peta moral bagi perjalanan bangsa. Di tengah maraknya jargon digitalisasi pemerintahan, transformasi birokrasi, dan dorongan menuju pemerintahan berkelas dunia, konferensi ini menghadirkan kesadaran baru bahwa modernitas tidak boleh menjadi jalan sunyi yang meninggalkan nilai. Kecanggihan sistem tidak boleh mengalahkan kemanusiaan. Teknologi bukan pengganti kearifan, melainkan pelayan bagi nilai. Negara bisa membangun pusat data dan kecerdasan buatan, tetapi tetap membutuhkan ruang batin tempat nilai-nilai diolah, ditimbang, dan dibenarkan. Modernitas yang kehilangan kesadaran budaya adalah modernitas yang rapuh. Karena itu, membahas administrasi publik tidak hanya soal prosedur, struktur, dan efisiensi, tetapi juga persoalan etika, makna, dan roh sosial yang menghidupinya. Di hadapan para akademisi dan praktisi kebijakan, kita diajak untuk menundukkan kepala sejenak dan mendengar kembali suara tanah tempat kita berpijak. Administrasi publik modern tidak boleh menjadi bangunan besar tanpa fondasi kultural. Administrasi harus bertumpu pada nilai yang tumbuh dari sejarah, adat, dan spiritualitas masyarakat. Sebab negara, sebelum menjadi sistem hukum, adalah rumah batin dan hasil kesepakatan nurani kolektif. Itulah sebabnya konferensi ini membuka jalan bagi kesadaran baru, bahwa administrasi publik harus kembali ke manusianya, kepada jiwa yang memberi arah, bukan semata mesin yang memberi bentuk. Seorang pemikir, Aloysius Liliweri, mengingatkan bahwa ilmu administrasi publik hanya akan bernyawa jika ia bersentuhan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti komunikasi, antropologi, filsafat, bahkan seni. Tanpa sentuhan itu, birokrasi akan kering, dingin, dan jauh dari manusia yang dilayaninya. Hal ini mengajak kita membaca birokrasi bukan hanya sebagai sistem, tetapi juga sebagai bahasa bagaiaman cara petugas menyapa, cara kantor dirancang, cara simbol negara dipasang, bagaimana ruang pelayanan dibuka dan ditutup, kesemuanya adalah tanda yang menyampaikan pesan tentang kekuasaan, empati, atau jarak sosial. Pendekatan semiotika mengajarkan bahwa di balik setiap tanda tersimpan makna yang membentuk persepsi publik tentang negara. Ketika seorang ASN tersenyum, negara sedang tersenyum. Saat prosedur dipermudah, martabat warga dimuliakan. Sebaliknya, ketika birokrasi membentengkan diri dengan dingin, negara sedang menciptakan jarak yang menggerus legitimasi. Di titik ini, kita tiba pada realitas sederhana namun penuh daya bahwa kearifan lokal bukan romantika masa lalu, tetapi sumber cahaya bagi masa depan tata kelola publik. Di Nusa Tenggara Timur, tanah yang kaya budaya dan spiritualitas, hal ini terlihat jelas. Inovasi dan digitalisasi diperlukan, tetapi keduanya menemukan ruh-nya ketika berjalan bersama cara pandang masyarakat terhadap kepemimpinan, kebersamaan, dan martabat manusia. Di banyak kampung di Flores, Sumba, Timor, hingga Lembata dan Adonara, kehidupan publik diikat bukan hanya oleh norma formal, tetapi oleh nilai adat yang mengedepankan musyawarah, penghormatan pada tetua, dan rasa saling menjaga sebagai keluarga besar. Nilai-nilai itu memberi arah moral bagi hubungan antara warga dan pemimpin; antara mereka yang memegang mandat dan mereka yang memberi mandat. Dalam konteks ini, tradisi toto kenito di Desa Dawata, Adonara Timur, memberikan pelajaran mendalam. Ritual penandaan dahi dengan minyak oleh kepala suku sebagai bentuk pengakuan kewargaan bukan sekadar upacara adat. Ia adalah bahasa legitimasi; tanda bahwa seseorang diakui, diterima, dan menjadi bagian dari komunitas moral. Tradisi ini membuktikan bahwa jauh sebelum negara memperkenalkan sistem data kependudukan dan daftar pemilih, masyarakat telah memiliki mekanisme pengakuan sosial yang hidup. Ketika tanda itu diletakkan di dahi seseorang, masyarakat berkata “engkau bukan sekadar dihitung, tapi diterima; engkau bukan hanya dilihat, tetapi diakui”. Betapa menarik bahwa negara modern kemudian mengenal praktik serupa dalam pemilu, tinta di jari setelah mencoblos adalah penanda kehadiran sekaligus pengakuan kewargaan. Dua dunia, adat dan negara, bertemu dalam simbol yang sama bahwa manusia harus diakui keberadaannya sebelum diminta berpartisipasi. Dengan kata lain, demokrasi modern menemukan gemanya dalam kearifan tradisional. Demokrasi bukan hanya prosedur, tetapi pengakuan hakiki atas martabat setiap manusia. Sayangnya, dalam praktik empiris, demokrasi kita kerap terjebak dalam ruang formal seperti daftar pemilih, logistik, bilik suara, rekapitulasi, dan mekanisme teknis yang detil. Semua itu penting, tetapi demokrasi kehilangan daya geraknya ketika hanya menjadi ritual administratif. Demokrasi yang sehat mensyaratkan lebih dari kesempurnaan prosedur. Indonesia sering dipuji sebagai demokrasi besar. Tetapi demokrasi yang besar belum tentu demokrasi yang berjiwa. Di banyak daerah, pemilu terasa seperti “acara negara” yang ditentukan dari atas, dilaksanakan dengan disiplin teknokratis, tetapi kurang menyapa ruang batin masyarakat. Padahal, demokrasi sejati tumbuh di tanah yang hidup dengan nilai, bukan hanya di meja yang penuh formulir. Di NTT, kita masih menjumpai praktik sosial menarik menjelang pemungutan suara. Tokoh adat dan warga memanggil kembali mereka yang merantau agar pulang memilih di kampung halaman. Bagi mereka, pemimpin yang layak dipilih adalah mereka yang lahir dari tanah yang sama, merasakan denyut kehidupan masyarakatnya. Ini bukan bentuk eksklusivitas; ini kesaksian tentang pentingnya kedekatan moral pemimpin dengan rakyatnya. Demokrasi bagi mereka bukan angka dalam kotak, tetapi relasi batin: kepemimpinan yang tumbuh dari tanah dan kembali mengabdi pada tanah. Pada tataran teori, pandangan seperti ini sejalan dengan pemikiran H. George Frederickson tentang social equity, bahwa keadilan sosial tidak hanya diukur dari hasil, tetapi juga dari bagaimana warga diperlakukan. Ia mengingatkan kita bahwa administrasi publik harus melampaui logika netralitas, menuju etika keberpihakan pada kemanusiaan. Sementara Gerald E. Caiden menegaskan bahwa reformasi pemerintahan sejati adalah humanizing governance yang menjadikan kekuasaan sarana memuliakan manusia, bukan mempersulit hidupnya. Pesan-pesan ini bertemu dalam ruang budaya Indonesia: bahwa tata kelola publik sejati harus menyentuh rasa sebelum mengatur prosedur. Dari perspektif itu, demokrasi Indonesia menemukan bentuk idealnya bukan hanya di ruang sidang parlemen, tetapi di balai adat; bukan hanya di regulasi tertulis, tetapi dalam musyawarah keluarga besar; bukan hanya di sistem informasi pemilu, tetapi dalam nilai gotong royong. Demokrasi yang terlalu teknokratis akan kehilangan kepekaan. Demokrasi yang hanya menghitung suara tanpa mendengar suara batin rakyat akan menjadi demokrasi yang lelah. Di sinilah pelajaran penting IAPA tahun ini, teknologi harus bersujud pada nilai. Inovasi harus berjalan bersama belas kasih. Bongkahan data pemilih tidak pernah mampu menggantikan tatap mata warga di kampung, perangkat lunak tidak akan pernah mengalahkan kebijaksanaan seorang tetua adat yang paham kapan harus bicara dan kapan harus diam. Demokrasi adalah jembatan antara negara dan budaya. Demokrasi membutuhkan struktur, namun tidak kehilangan jiwa. Ia memerlukan sistem, tetapi tetap dipandu nilai. Ketika negara hadir di ruang adat, ia harus mengulurkan tangan, bukan membawa jarak. Ketika budaya bertemu modernitas, keduanya harus saling menyapa, bukan saling menggusur. Inilah jalan menuju demokrasi berkeadaban, demokrasi yang tumbuh dari kebiasaan, dari percakapan, dari rasa percaya. Demokrasi yang tidak hanya mematuhi konstitusi, tetapi juga menghormati kearifan nenek moyang. Di akhir forum, terasa jelas bahwa konferensi ini bukan sekadar pertemuan, akan tetapi menjadi panggilan agar administrasi publik Indonesia berjalan di jalan tengah yang bijak. Sehingga dapat membangun digital government tanpa meninggalkan rumah budaya kita,  agar negara hadir bukan sebagai mesin, tetapi sebagai sahabat hidup dan penjaga martabat manusia. Dari Kupang, dari ruang akademik Undana, dari perjalanan pemikiran yang menyentuh tanah dan langit sekaligus, sebuah kesadaran lahir bahwa demokrasi Indonesia harus dibangun bukan hanya dengan undang-undang, tetapi dengan kearifan; bukan hanya dengan sistem, tetapi dengan jiwa; bukan hanya dengan suara, tetapi dengan kesadaran. Negara hanya akan kuat bila ia tidak melupakan rumah budaya tempat ia berasal. Demokrasi hanya akan subur bila ia dipelihara oleh rasa saling percaya, kejujuran, dan kesediaan untuk mendengar. Dalam tradisi Adonara, tanda di dahi adalah pengakuan. Dalam negara modern, tinta di jari adalah pengakuan. Dalam kehidupan bersama, pengakuan manusia atas manusia lain adalah pijakan tertinggi dari peradaban. Dengan demikian, tugas kita adalah menjaga agar negara tidak hanya menghitung suara, tetapi juga menghitung martabat, agar pemilu tidak hanya memilih pemimpin, tetapi meneguhkan kesadaran kolektif bahwa kita adalah satu bangsa yang berjalan bersama di jalan yang sama. Administrasi publik yang berkeadaban adalah administrasi yang memahami manusia bukan sebagai data, tetapi sebagai jiwa. Dan demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang kembali ke rumah awalnya, rumah di mana budaya, nilai, dan kemanusiaan tumbuh bersama. *) Anggota KPU Provinsi NTT/Alumni Ilmu Administrasi FISIP UNDANA  

Menanti Revisi UU: Pemilu Sebagai Panggung Kedaulatan Rakyat

Menanti Revisi UU: Pemilu Sebagai Panggung Kedaulatan Rakyat Oleh Jemris Fointuna   Pemilu adalah momentum di mana seluruh rakyat dikonsolidasikan ke dalam satu ruang kebangsaan yang utuh, melampaui segmentasi sosial dan partisi golongan. Dalam logika demokrasi, Pemilu tidak hanya berfungsi sebagai prosedur administratif, tetapi juga sebagai pernyataan (deklaratif) bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi. Posisi rakyat tidak boleh direduksi menjadi simbolik semata, melainkan harus hadir nyata sebagai pusat pengambilan keputusan. Bertentangan dengan kehendak rakyat sama dengan meruntuhkan kepercayaan publik (public trust) dan pada akhirnya membuka ruang bagi public recall di masa depan. Dengan kata lain, Pemilu adalah bentuk nyata dari pactum unionis (perjanjian kesatuan) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan diri), di mana rakyat bersepakat membentuk tatanan politik sekaligus menyerahkan mandatnya pada penyelenggara negara. Dalam konteks pengesahan partai politik (Parpol) sebagai peserta Pemilu, rakyat berperan sebagai juru kunci utama. Aturan mewajibkan setiap Parpol memiliki basis konstituen di berbagai tingkatan wilayah serta membuktikan militansinya melalui kepemilikan KTA. Prinsip kesukarelaan (voluntarysm) yang menjadi dasar keanggotaan partai menunjukkan ruang kebebasan rakyat untuk bergabung, tetapi begitu menjadi anggota, seseorang terikat pada statuta partai. Banyak partai akhirnya gagal memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu karena tidak mampu membuktikan legitimasi rakyat yang menjadi fondasi keberadaannya. Ketika tahapan pencalonan dimulai, ruang ekspresi rakyat semakin terbuka lebar. Hampir semua Parpol mengakomodasi beragam latar belakang calon, mulai dari politisi, akademisi, pengusaha, aktivis, buruh, ibu rumah tangga, budayawan, artis, hingga petani dan pekerja informal. Dengan modal KTA, peluang mencalonkan diri terbuka. Fenomena ini memperlihatkan Pemilu sebagai arena sosial yang menyatukan berbagai aspirasi rakyat. Namun, di balik keterbukaan itu, ada paradoks: keterlibatan rakyat yang tampak luas bisa saja hanya menjadi ornamen prosedural, di mana rakyat dijadikan obyek mobilisasi politik, bukan subyek yang sungguh berdaulat. Strategi Parpol dalam menyatukan kekuatan rakyat pada tahap pencalonan kerap memberi efek kejut pada hasil pemungutan suara. Banyak calon rela meninggalkan profesi mapan demi masuk ke gelanggang politik, seakan-akan jabatan hasil Pemilu adalah segalanya. Padahal jabatan itu hanya berlangsung lima tahun, dengan segala risiko hukum dan politik yang menyertainya. Pola ini memperlihatkan daya hipnosis Pemilu, tetapi sekaligus menyimpan bahaya ketika rakyat hanya diposisikan sebagai alat legitimasi formal tanpa dijamin ruang kontrol berkelanjutan. Di sisi lain, lembaga penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) memikul tanggung jawab besar. Mereka mengkonsolidasikan hak rakyat menjadi daftar pemilih yang sah melalui kriteria ketat seperti usia, status pernikahan, kepemilikan identitas, dan ketidakikutsertaan sebagai aparat negara. Setiap deviasi dalam proses ini berpotensi menghilangkan hak rakyat untuk memilih, yang bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk pelanggaran serius terhadap konstitusi dan sila keempat Pancasila. Ketika data pemilih kacau, kedaulatan rakyat terguncang, dan Pemilu berisiko kehilangan legitimasinya. Ekspektasi pasangan calon, Parpol serta calon anggota DPD terhadap kinerja penyelenggara Pemilu begitu besar, dengan menegaskan narasi “Suara Rakyat Suara Tuhan.” Narasi ini mengandung makna mendalam bahwa setiap suara harus dihargai sebagai mandat ilahi yang melahirkan legitimasi politik. Pada tahapan ini, posisi rakyat khususnya pemilih ditempatkan sebagai King and Queen, karena merekalah mandataris kedaulatan yang mewarisi hak untuk ikut memilih. Sedikit saja terjadi deviasi berpotensi menghilangkan hak pilih rakyat. Konsekuensi logis dari kelalaian mengelola data pemilih mengakibatkan hilangnya public trust. Dalam konteks yang lebih luas, penyelenggara Pemilu dianggap melakukan contempt of election berupa pelanggaran Konstitusi khususnya Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan penjabaran dari sila keempat Pancasila, pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Kampanye kemudian menjadi ruang interaksi intensif antara rakyat dan peserta Pemilu. Secara ideal, kampanye menjadi wadah simbiosis mutualisme, tempat aspirasi rakyat bertemu dengan visi dan program politik. Namun, bila kampanye hanya dijalankan sebagai instrumen untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas, maka rakyat kembali direduksi menjadi objek persuasi. Pada titik ini, ada bahaya bahwa Pemilu lebih berfungsi sebagai panggung pencitraan ketimbang arena pemberdayaan rakyat. Sistem proporsional terbuka memang menegaskan prinsip one man, one vote, one value. Nilai suara seorang buruh setara dengan nilai suara seorang presiden. Kesetaraan inilah yang membuat rakyat merasa terhormat, karena suaranya tidak kalah berharga dengan suara elite. Namun, sejarah Pemilu Indonesia menunjukkan partisipasi rakyat tidak pernah mencapai 100 persen. Angka partisipasi tertinggi justru terjadi pada Pemilu 1971 di era otoritarian dengan 96,6 persen, namun ironisnya ini adalah masa ketika demokrasi masih bersifat semu. Angka tinggi itu bukan lahir dari partisipasi sejati, melainkan dari kontrol negara yang kuat. Inilah gambaran paling jelas dari pseudo demokrasi, partisipasi rakyat hanya tinggi di atas kertas, tetapi nihil kedaulatan substantif. Kini, setelah DPR RI dalam Rapat Paripurna Ke-5 menyetujui 67 RUU prioritas, termasuk RUU Pemilu dan RUU Pemilihan Kepala Daerah, publik kembali mempertanyakan posisi rakyat. Apakah setelah kodifikasi UU ini rakyat tetap diposisikan sebagai pemegang kedaulatan, ataukah justru hanya sebagai penggembira demokrasi? Apabila revisi undang-undang lebih diarahkan pada penekanan teknokrasi prosedural seraya mengurangi ruang partisipasi substantif rakyat, maka yang akan lahir bukanlah demokrasi yang menghidupi rakyat, melainkan sebentuk pseudo demokrasi yang hanya menampilkan kulit luarnya. Demokrasi kehilangan vitalitasnya ketika kedaulatan rakyat dipersempit menjadi sekadar legitimasi formal, tanpa jaminan ruang artikulasi aspirasi yang otentik. Jika ditelisik lebih jauh pada substansi pasal-pasal yang berpotensi diubah, problematika segera tampak. Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) selama ini hanya berfungsi mengonsolidasikan dominasi partai besar dan menutup kemungkinan lahirnya alternatif politik baru. Konsekuensinya adalah rakyat kehilangan keberagaman pilihan, padahal pluralitas politik merupakan prasyarat penting bagi demokrasi yang sehat. Putusan Mahkamah Konstitusi pada Januari 2025 yang menghapus threshold tersebut karenanya dapat dibaca sebagai koreksi historis. Namun, momentum ini masih menyimpan risiko. Bila revisi undang-undang justru kembali memasukkan mekanisme pembatasan lain yang pada hakikatnya menyerupai threshold, maka esensi putusan MK akan tereduksi, dan kedaulatan rakyat kembali dipersempit. Begitu pula wacana kembalinya sistem proporsional tertutup yang menempatkan daftar calon sepenuhnya dalam kendali elite partai. Langkah ini sesungguhnya menegasikan esensi kedaulatan rakyat, karena pemilih tidak lagi memiliki keleluasaan menentukan secara langsung siapa yang akan mewakili kepentingannya di parlemen. Lebih jauh lagi, apabila verifikasi partai politik diperketat tanpa disertai mekanisme yang inklusif, maka lanskap politik yang tercipta cenderung semakin oligarkis. Partai-partai kecil yang kerap menjadi kanal artikulasi bagi aspirasi alternatif rakyat akan kesulitan tampil dalam kontestasi. Padahal, keberadaan mereka justru penting sebagai penyeimbang hegemoni partai besar serta sebagai indikator sejauh mana demokrasi mampu menampung keragaman suara warga. Dengan demikian, revisi yang tidak sensitif terhadap dimensi kedaulatan rakyat berpotensi menggeser demokrasi Indonesia dari ranah substantif menuju prosedural semata. Semua ini berpotensi memundurkan kualitas demokrasi kita, menjadikannya hanya sebagai etalase prosedural yang indah dilihat, tetapi kosong makna. Bahaya pseudo demokrasi terletak pada kenyataan bahwa wajah luar tetap menampilkan mekanisme demokratis: Pemilu berlangsung, rakyat datang ke TPS, hasil diumumkan. Namun, di balik ritual itu, substansi kedaulatan rakyat perlahan terkikis. Demokrasi hanya menjadi pesta lima tahunan, sementara ruang kontrol rakyat di antara periode itu tertutup rapat. Rakyat sekadar dipanggil hadir sebagai legitimasi formal, tetapi suara kritisnya dibatasi, bahkan cenderung dibungkam. Oleh karena itu, revisi UU Pemilu bukan hanya soal harmonisasi regulasi, melainkan juga soal menjaga substansi kedaulatan rakyat. Penantian publik terhadap UU baru sejatinya adalah penantian terhadap jawaban, apakah bangsa ini setia pada amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat, atau justru tergelincir kembali ke masa lalu ketika demokrasi hanya formalitas. Jika arah revisi menjauh dari rakyat, maka Pemilu Indonesia akan jatuh ke dalam pseudo demokrasi, hanya meriah di permukaan, tetapi kehilangan ruh kedaulatan di dalamnya.  

Mengembalikan Trust dalam Pemilu

Mengembalikan Trust dalam Pemilu Oleh Baharudin Hamzah   Di bilik suara yang sunyi, suara sekecil apa pun punya arti. Pemilu, pada hakikatnya, adalah tentang trust. Rakyat percaya mandat itu akan dijaga, pemimpin percaya rakyat menggunakan suaranya dengan kesadaran. Begitu trust rapuh, pemilu hanya menjadi angka di atas kertas, pesta tanpa makna. Hari ini, tanda-tandanya terlihat jelas, transaksi menggantikan dialog, sensasi menenggelamkan gagasan, dan politik terasa seperti pasar malam, ramai tapi kosong. Karena itu, kita perlu kembali ke pertanyaan yang sering dilupakan, apa yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan ketika seseorang melipat surat suara? Plato, dua ribu tahun silam, sudah mengingatkan. Dalam The Republic, filsuf Yunani itu menulis bahwa politik bukan semata urusan prosedur, melainkan kualitas jiwa manusia. Demokrasi, katanya, mudah goyah ketika orang berhenti berpikir. Ketika suara tidak lagi lahir dari nalar, melainkan dari pesona, harta, atau retorika, maka demokrasi tak lebih dari arena hiburan. Dari sinilah awal kerusakan negara, bukan karena tirani pemimpin jahat, tetapi karena rakyat salah memilih. Pendidikan politik, bagi Plato, bukan pelajaran teknis, melainkan latihan mencintai kebenaran. Tanpa latihan itu, demokrasi menjadi pasar gelap: janji dijual, kebohongan laris, dan masa depan digadaikan pada kata-kata. Peringatan itu bukan sekadar kutipan klasik, ini nyata dalam denyut politik kita hari ini. Indonesia telah menyepakati pemilu sebagai jalan sirkulasi kekuasaan. Rakyat memilih DPR, DPD, DPRD, juga presiden dan kepala daerah. Kedaulatan dibunyikan melalui pemungutan suara langsung. Namun makna terdalamnya bukan ritus lima tahunan. Pemilu adalah peristiwa politik yang sakral untuk rakyat menitipkan kuasa. Titipan itu bernama trust. Ketika trust hadir, pilihan tidak ditentukan oleh amplop atau slogan, pilihan lahir dari nurani, dari ingatan pada rekam jejak, dari keyakinan bahwa mandat akan dijaga untuk kesejahteraan bersama. Sebaliknya, ketika trust lenyap, demokrasi hanya tinggal kulit.   Politik dan Makna Trust: dari Plato ke Kesadaran Warga Plato memberikan kritik yang tajam bahwa bangsa yang malas berpikir akan menyerahkan masa depannya kepada pilihan yang keliru. Demokrasi tidak bisa hidup di antara rakyat yang pasif. Demokrasi hanya bernapas jika rakyat aktif menguji janji, mengkritisi retorika, dan mengenali wajah asli kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, tantangan ini menjadi lebih luas. Demokrasi kita relatif muda. Dalam hitungan sejarah, baru dua dekade lebih. Kita masih membawa warisan panjang budaya politik Orde Baru, budaya yang membentuk cara pandang pemilu sebagai kontestasi menang-kalah semata, bukan proses membangun kepercayaan. Dalam ingatan kolektif, pemilu identik dengan kampanye meriah, spanduk tinggi, arak-arakan, dan janji yang mudah dilupakan sehari setelah pencoblosan. Gagasan jarang benar-benar diadu, suara rakyat sering hanya menjadi target, bukan mitra dialog. Karena itu, pendidikan politik menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Robert A. Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) menekankan bahwa partisipasi bermakna hanya mungkin lahir ketika warga punya akses informasi, ruang deliberasi, dan kemampuan menilai. Dalam konteks trust, pendidikan politik berfungsi seperti akar pada pohon demokrasi, tak terlihat di permukaan, tetapi menyangga seluruh batangnya. Jika akar ini rapuh, satu hembusan angin money politics atau populisme bisa merobohkannya. Pendidikan politik yang dimaksud bukan sebatas hafalan jadwal pemungutan suara atau pengenalan daftar calon. Pendidikan politik adalah proses panjang membangun kesadaran, mengenali perbedaan antara janji dan kebijakan, membedakan retorika dan rekam jejak, menilai siapa yang berkomitmen dan siapa yang hanya bersandiwara. Ketika publik memiliki kemampuan menilai dengan jernih, trust tumbuh secara alami. Sehingga trust yang lahir dari kesadaran jauh lebih kuat dibanding trust yang dibangun di atas retorika kosong. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak pemilih masih menempatkan politik sebagai ajang pragmatisme. Mereka memilih bukan karena yakin terhadap visi, melainkan karena ada imbalan sesaat seperti uang, sembako, atau sekadar janji jabatan kecil. Riset Rohi dkk. (2025) menunjukkan sebagian pemilih bahkan menunggu hingga detik terakhir sebelum menentukan pilihan, berharap ada “bantuan” finansial dari kandidat. Temuan ini sejalan dengan analisis Leonardo Vicente dan Leonard Wantchekon (2020), politik uang menggeser preferensi rasional ke preferensi transaksional. Akibatnya, trust terhadap sistem pemilu melemah. Pemilih tak lagi percaya politisi, politisi tak lagi percaya pemilih. Demokrasi menjadi transaksi, bukan kontrak kepercayaan. Keadaan ini juga berbahaya bagi kualitas kepemimpinan. Seorang pemimpin yang lahir dari transaksi akan menjalankan kekuasaan sebagai investasi, bukan amanah. Ia akan menghitung setiap kebijakan sebagai cara mengembalikan modal politik, bukan sebagai pengabdian kepada publik. Ketika trust hilang di awal, sulit berharap muncul trust di akhir.   Kampanye, Arus Informasi, dan Erosi Trust Dalam teori komunikasi politik, kampanye adalah jantung pemilu. Everett M. Rogers dan J. D. Storey (1987) menyebut kampanye sebagai rangkaian aktivitas komunikasi terorganisir yang diarahkan untuk mendorong perubahan sosial dalam jangka waktu tertentu. Idealnya, kampanye adalah arena pertarungan gagasan, tempat publik diberi kesempatan untuk menimbang dan membandingkan visi, program, serta rekam jejak para calon. Dalam kenyataan kita, harapan itu sering jauh dari kenyataan. Dalam dua pemilu terakhir, kita menyaksikan kampanye yang lebih menyerupai pesta ketimbang ruang percakapan politik. Musik menggema, baliho membanjiri jalanan, namun gagasan tenggelam. Media sosial mempercepat arus informasi, tetapi sekaligus memperdalam kabut. Hoaks, potongan video tanpa konteks, dan propaganda beredar jauh lebih cepat daripada klarifikasi dan diskusi. Ketika informasi dikendalikan oleh emosi, bukan akal, trust tidak mungkin tumbuh. Orang lebih percaya pada kabar yang menyenangkan perasaan ketimbang data yang menenangkan pikiran, mereka terjebak dalam bubble-nya. Fenomena ini menciptakan spiral distrust. Pemilih merasa politisi hanya datang saat kampanye, maka mereka menuntut “imbalan” sebelum memberi suara. Politisi merasa pemilih tidak setia, maka mereka memilih jalan pintas dengan membeli suara. Dalam situasi ini, trust perlahan mati. Pemilu kehilangan makna sebagai momen kedaulatan rakyat dan berubah menjadi pasar besar. Sumber masalahnya juga terletak pada lemahnya rekrutmen dan kaderisasi partai politik. Banyak kandidat maju bukan karena kapabilitas, tetapi karena kedekatan dan modal. Partai yang seharusnya menjadi sekolah politik justru sering menjadi gerbang transaksional. Ketika proses seleksi kandidat tidak meritokratis, publik sulit percaya. Ketika publik sulit percaya, trust semakin tipis. Politisasi identitas memperparah keadaan. SARA dijadikan alat kampanye, bukan batas etika. Polarisasi meluas. Masyarakat terbelah bukan oleh perbedaan gagasan, melainkan oleh label dan identitas yang dipertentangkan. Alexis de Tocqueville, dalam Democracy in America (1835), mengingatkan bahwa demokrasi bertahan bukan karena semua orang sepakat, tetapi karena mereka percaya pada mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan. Ketika kepercayaan itu retak, polarisasi tak lagi bisa dikelola. Pemilu menjadi pemicu luka, bukan perayaan kebangsaan. Situasi ini mengharuskan adanya counter-culture politik. Literasi digital dan politik menjadi benteng utama. Pemilih, terutama kelompok muda, perlu diberi ruang belajar untuk memilah kabar, memahami program, dan mendiskusikan masa depan. Media sosial seharusnya menjadi ruang deliberasi, bukan sekadar panggung amplifikasi kemarahan. Trust bisa tumbuh jika informasi jernih dan publik merasa dilibatkan secara bermakna.   Menata Ulang Ekosistem: Kelembagaan, Pendidikan Pemilih, dan Politik Gagasan Mengembalikan trust dalam pemilu bukan tugas satu pihak, tetapi butuh kerja kolektif dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat sebagai pemilih. Penyelenggara memegang peran strategis.  Peserta pemilu juga harus menata ulang panggung politik. Politik gagasan harus dikembalikan ke jantung kampanye. Calon pemimpin seharusnya bicara tentang kebijakan publik, soal pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, infrastruktur, keadilan sosial, dan masa depan digital. Gagasan yang konkret dan terukur menunjukkan keseriusan. Gagasan yang konsisten melahirkan trust. Figur yang menampilkan gagasan kuat akan bertahan lebih lama daripada mereka yang hanya bersandar pada pesona sesaat. Masyarakat sebagai pemilih pun punya peran menentukan. Data KPU menunjukkan, pemilih muda, terutama generasi milenial dan Gen Z, mencapai 56% pada Pemilu Indonesia 2024. Kelompok ini memiliki daya ubah besar. Mereka terbiasa dengan teknologi, terbuka terhadap diskusi, dan tidak terlalu terikat pada patron lama. Jika mereka diberi pendidikan pemilih yang sungguh-sungguh, trust bisa dibangun dari lapisan terbawah demokrasi. Program “KPU Mengajar” yang digaungkan KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu pintu masuk yang strategis. Selama ini, sosialisasi pemilu lebih banyak berbicara soal tanggal pencoblosan dan hak-hak dasar. Itu penting, tetapi belum cukup. Mengajar berarti melibatkan warga dalam percakapan politik yang lebih dalam, soal bagaimana janji politik bisa diterjemahkan menjadi kebijakan, soal bagaimana kebijakan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Program ini membutuhkan perencanaan matang mengenai kurikulum, kelompok sasaran, jam belajar, metode partisipatif, serta mekanisme evaluasi. Indeks Partisipasi Pemilihan 2025 sekitar 61,94% di kabupaten/kota dan 60,97% di provinsi, memberi sinyal bahwa masih ada ruang luas untuk memperluas cakupan pendidikan pemilih. Trust  tidak hanya tumbuh dari pidato dan baliho. Trust tumbuh dari kedekatan sehari-hari. Dari politisi yang hadir di luar musim kampanye. Dari penyelenggara yang transparan dalam langkah-langkah kecil. Dari warga yang mau belajar dan bertanya. Ketika tiga elemen ini saling bertemu, trust akan kembali mengisi ruang demokrasi. Politik gagasan pun perlahan akan menggantikan politik identitas. Publik akan lebih menghargai visi masa depan ketimbang atribut. Lebih tertarik pada rencana kebijakan ketimbang amplop. Lebih percaya pada konsistensi ketimbang pencitraan sesaat. Dalam atmosfer seperti ini, figur yang benar-benar dipercaya akan terpilih bukan karena retorika, tetapi karena integritas. Pemilu, pada akhirnya, hanyalah alat. Ruh dari alat itu adalah trust, kepercayaan yang mengikat rakyat dan pemimpin dalam satu simpul tanggung jawab. Rakyat menitipkan masa depan melalui selembar suara, pemimpin menerima titipan itu dengan janji untuk menjaganya. Bila trust dirawat, melalui proses yang jernih, kampanye yang mencerdaskan, dan warga yang kritis, pemilu tak lagi sekadar pesta lima tahunan tetapi menjelma peristiwa politik yang bermartabat. Melalui bilik suara, tempat segala hiruk-pikuk kampanye berakhir, rakyat berdiri sebagai pemilik tunggal kedaulatan. Di titik itu, suara bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah pesan. Pesan bahwa trust tidak bisa diperjualbelikan. Pesan bahwa masa depan tidak boleh ditukar dengan uang receh. Pesan bahwa hanya mereka yang benar-benar dipercaya, yang pantas menerima amanah..    

Pencalonan Kepala Daerah Pasca Putusan MK 135/2025: Momentum Memperkuat Demokrasi Lokal

Pencalonan Kepala Daerah Pasca Putusan MK 135/2025: Momentum Memperkuat Demokrasi Lokal Oleh Elyaser Lomi Rihi   Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2025 menjadi titik penting dalam dinamika demokrasi elektoral di Indonesia, terutama dalam konteks pencalonan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi menegaskan perlunya membuka ruang pencalonan yang lebih inklusif dan transparan, dengan menempatkan prinsip kesetaraan politik sebagai landasan utama. Dalam amar putusannya, pembatasan yang bersifat eksklusif terhadap proses pencalonan bertentangan dengan prinsip konstitusional kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan ini tidak berdiri dalam ruang kosong, tetapi menjadi jawaban atas ketegangan yang telah lama mengiringi relasi antara demokrasi elektoral lokal dan oligarki partai politik. Secara substansial, keputusan tersebut memberikan sinyal kuat bahwa demokrasi lokal seharusnya menjadi ruang terbuka bagi partisipasi rakyat, bukan arena terbatas yang dikendalikan oleh segelintir elite.       Dalam kerangka teori demokrasi, kebijakan yang memperluas hak pencalonan selalu berkaitan erat dengan gagasan partisipasi politik yang substantif. Seperti ditegaskan oleh Robert A. Dahl dalam karyanya Polyarchy: Participation and Opposition (1971), demokrasi modern hanya dapat bertumbuh jika warga negara memiliki akses nyata untuk ikut menentukan siapa yang memerintah dan bagaimana pemerintahan dijalankan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi bentuk koreksi terhadap struktur politik lokal yang selama ini cenderung tertutup dan hierarkis. Ketika pencalonan kepala daerah hanya dimonopoli oleh partai politik tertentu, proses demokrasi terancam kehilangan daya hidupnya. Pembukaan ruang bagi pencalonan yang lebih luas bukan sekadar langkah hukum, melainkan strategi politik untuk mengembalikan demokrasi lokal kepada rakyat. Di arena politik, konsekuensi dari putusan ini akan terasa langsung dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Pencalonan bukan lagi sekadar soal memenuhi syarat administratif, tetapi menjadi penanda apakah demokrasi lokal sungguh-sungguh inklusif. Dalam konteks ini, kualitas calon pemimpin menjadi sangat krusial. Rekam jejak, integritas, pengalaman, dan kapasitas kepemimpinan akan menjadi faktor pembeda. Pemimpin yang dibutuhkan bukan hanya sosok yang populer, tetapi yang mampu membawa arah pembangunan jangka panjang. Seperti dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014), tata kelola yang baik sangat bergantung pada “the quality of leadership and state capacity”. Tanpa pemimpin berkualitas, demokrasi hanya akan berhenti pada ritual elektoral lima tahunan. Namun demokrasi elektoral lokal tidak dapat dilepaskan dari tantangan klasik yang terus menghantui proses pencalonan yakni politik uang, nepotisme, dan dominasi elite. Politik uang menggerus integritas proses demokrasi dan menjadikan kedaulatan rakyat sebagai komoditas transaksional. Nepotisme menutup peluang bagi calon alternatif yang sebenarnya memiliki kapasitas lebih baik. Transparansi pendanaan kampanye dan akuntabilitas politik menjadi benteng utama agar demokrasi lokal tidak direduksi menjadi arena perebutan kekuasaan yang sempit. Putusan MK 135/2025 membuka ruang hukum, tetapi keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh pengawasan masyarakat sipil, independensi penyelenggara pemilu, dan keberanian pemilih untuk tidak tunduk pada tekanan pragmatis. Kualitas demokrasi juga sangat bergantung pada kesadaran pemilih. Pemilih tidak boleh diposisikan sebagai objek kampanye, tetapi sebagai subjek politik yang menentukan arah kebijakan. Pemilih cerdas akan menilai calon berdasarkan gagasan, program, dan rekam jejak, bukan karena popularitas atau kedekatan personal. Literasi politik menjadi pondasi utama agar masyarakat dapat menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab. Dalam konteks ini, media massa dan organisasi masyarakat sipil memegang peran penting dalam menyediakan informasi yang jernih dan objektif. Sebagaimana ditegaskan oleh Joseph E. Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012), sistem demokrasi modern akan rapuh jika akses terhadap informasi dikendalikan oleh kelompok tertentu yang berkepentingan. Pencalonan kepala daerah juga tidak dapat dilepaskan dari prinsip inklusivitas. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi ruang bagi semua kelompok, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, kaum muda, dan kelompok minoritas. Representasi politik yang luas memperkaya perspektif dalam pengambilan kebijakan dan memperkuat legitimasi kepemimpinan. Putusan MK 135/2025 mengandung pesan bahwa demokrasi lokal bukan hak istimewa elite politik, tetapi hak politik setiap warga negara. Dalam konteks ini, partai politik dituntut untuk bertransformasi dari sekadar mesin elektoral menjadi lembaga rekrutmen politik yang terbuka dan meritokratis. Perkembangan teknologi digital juga menghadirkan dimensi baru dalam pencalonan kepala daerah. Platform media sosial menjadi ruang kampanye utama, namun sekaligus membuka celah penyebaran disinformasi. Literasi digital menjadi prasyarat penting agar pemilih tidak mudah dimanipulasi opini politiknya. Teknologi dapat memperluas partisipasi, tetapi juga dapat mempercepat proses distorsi informasi. Karena itu, tanggung jawab calon pemimpin dalam menggunakan teknologi secara etis menjadi sangat krusial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2025 memberikan peluang besar untuk memperkuat demokrasi elektoral lokal di Indonesia. Namun peluang itu hanya akan menjadi kenyataan jika seluruh elemen masyarakat, partai politik, penyelenggara pemilu, dan pemilih benar-benar mengawal prosesnya. Demokrasi lokal tidak cukup hanya dijalankan, tetapi harus dijaga dari penyimpangan dan manipulasi. Seperti diingatkan Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, “Democracy does not guarantee equality of conditions, but it guarantees equality of opportunity.” Ruang politik yang terbuka bukan jaminan lahirnya pemimpin baik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk memilih yang terbaik. Dari kota kecil, dari desa terpencil, masa depan demokrasi Indonesia sedang ditulis ulang melalui proses pencalonan kepala daerah. Putusan MK 135/2025 bukan sekadar teks hukum, melainkan momentum politik untuk mengembalikan demokrasi lokal kepada rakyat, tempat kedaulatan seharusnya berada.

PEMILIH  PEMILU SERENTAK 2024

PEMILIH PEMILU SERENTAK 2024 Thomas Dohu, ketua KPU Provinsi NTT   Terdapat dua data yang dihasilkan dari proses pemutakhiran data pemilih sebelum menjadi daftar pemilih tetap yakni daftar pemilih sementara dan daftar pemilih sementara hasil perbaikan. Daftar pemilih sementara di Provinsi NTT telah ditetapkan tanggal 5 april 2023 sebanyak 4.019.618 pemilih dengan jumlah TPS sebanyak 16.855 sedangkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan yang ditetapkan tanggal 12 mei 2023 sebanyak 4.016.844 dengan jumlah TPS sebanyak 16.750. Data DPSHP juga menguraikan pemilih berpotensi non ktp elektronik sebanyak 237.659, pemilih disabilitas sebanyak 46.395. Jumlah pemilih maupun TPS masih dimungkinkan berubah karena proses pencermatan data masih berlangsung hingga ditetapkan daftar pemilih tetap tanggal 21 juni 2023.   Daftar Pemilih Sementara (DPS) DPS adalah daftar pemilih hasil kegiatan pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPK, PPS, dan Pantarlih. Sumber data kegiatan pemutakhiran data pemilih adalah data penduduk potensial pemilih dan daftar pemilih berkelanjutan. Data penduduk potensial pemilih diperoleh dari pemerintah dan pemerintah daerah yang disediakan dalam bentuk: 1) data penduduk potensial pemilih pemilu dan 2) data warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri. Data kependudukan tersebut disinkronkan oleh pemerintah bersama KPU untuk menjadi data penduduk potensial pemilih pemilu. Selanjutnya KPU Kabupaten/Kota menggunakan data penduduk potensial pemilih pemilu untuk disandingkan dengan daftar pemilih tetap pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Daftar pemilih dimaksud paling sedikit memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia, yang mempunyai hak memilih. Dua sumber data pemilu dihasilkan oleh lembaga yang berbeda yakni dinas kependudukan dan catatan sipil Kabupaten/Kota sedangkan data pemilih berkelanjutan diperoleh dari KPU Kabupaten/Kota. Lokus data diperoleh dari wilayah administrasi yang sama yaitu Kabupaten/Kota. Tehnik memperoleh data masing-masing juga berbeda, kalau data kependudukan diperoleh berdasarkan registrasi data yang dicatat berupa data kelahiran, kematian, perkawinan, perpindahan penduduk, perceraian, adopsi anak, dan lain-lain. Registrasi data pada dasarnya menganut stelsel aktif bagi penduduk. Norma tersebut mengatur bahwa asas pencatatan sipil membebankan kewajiban bagi penduduk untuk mendaftarkan setiap peristiwa penting, termasuk kelahiran anak. Hal ini dilakukan karena terbatasnya sumber daya petugas pencatatan sipil dilain pihak jumlah penduduk banyak dan wilayah kerja juga sangat luas. Data dimaksud dipilah berdasarkan umur dan perkawinan untuk dipersiapkan sebagai data penduduk potensial pemilih pemilu.           Adapun sistem pendataan pemilih berkelanjutan berdasarkan pencermatan data pemilu/pemilihan tetap terakhir dan koordinasi data dengan instansi terkait seperti dinas kependudukan dan catatan sipil, dinas pendidikan, TNI, Polri. Koordinasi dimaksud untuk mendapatkan data pemilih baru, pemilih pindah domisili dan pemilih meninggal dunia. Pelaksanaanya setiap bulan lalu dilakukan rekapitulasi secara berjenjang mulai dari KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU.      Data Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) DPSHP adalah DPS yang telah diperbaiki berdasarkan masukan dan tanggapan masyarakat dan/atau peserta Pemilu. Setelah DPS ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dilakukan pengumuman diseluruh desa/kelurahan untuk  mendapat masukan dan tanggapan masyarakat. Tidak hanya itu, DPS dalam bentuk soft file juga wajib diserahkan kepada peserta pemilu agar peserta pemilu masing-masing tingkatan melakukan pencermatan DPS dan apabila ditemukan pemilih belum didaftar atau ditemukan pada DPS dengan kategori pemilih tidak memenuhi syarat seperti pemilih belum berumur 17 tahun dan belum pernah kamwin/menikah, pemilih ganda, pemilih meninggal dunia, pemilih telah menjadi anggota TNI/Polri dapat memberikan masukan kepada KPU sesuai tingkatanya. Kesempatan bagi masyarakat dan peserta pemilu menyampaikan masukan dan tanggapan terhadap DPS diberi kesempatan selama 21 hari yakni mulai tanggal 12 april sampai dengan  2 mei 2023. Berdasarkan pencermatan dan masukan tanggapan masyarakat tersebut selanjutnya DPSHP dilakukan rekapitulasi kembali melalui rapat pleno secara berjenjang mulai dari desa/kelurahan, kecamatan dan KPU Kabupaten mulai tanggal 7 mei sampai dengan 12 mei 2023.   Daftar Pemilih Tetap (DPT) DPT adalah DPSHP Akhir yang telah diperbaiki oleh PPS, direkapitulasi oleh PPK, dan ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota. Disebut proses akhir karena telah dilalui beberapa tahapan mulai dari proses pencocokan dan penelitian data pemilih melibatkan pantarlih, penyusunan DPS, perbaikan DPS, penyusunan DPSHP. DPT tidak hanya menguraikan daftar pemilih dengan elemen data lengkap tetapi juga mengetahui jumlah TPS dengan ketentuan satu TPS paling banyak 300 pemilih. DPT memiliki makna yang paling mendasar dalam proses pemilu di Indonesia yaitu: pertama, memberikan kepastian bahwa warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih telah terdaftar dalam daftar pemilih; kedua, sebagai sumber data dalam melayani pemilih pindah memilih di TPS lain; ketiga sebagai sumber data dalam mengelola kebutuhan logistik pemilu seperti perlengkapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS: kotak suara, bilik suara, surat suara, tinta, alat coblos, segel dan TPS; dan keempat, sebagai sumber data dalam merancang kebutuhan penyelenggara di TPS, pengamanan TPS serta kebutuhan saksi oleh peserta pemilu.   Cek Mandiri Daftar Pemilih           Saat ini KPU telah mengembangkan suatu aplikasi untuk mengetahui pemilih telah terdaftar pada daftar pemilih. Proses pengecekan  dilakukan dengan cara membuka link: cekdptonline.kpu.go.id kemudian pemilih mengetik nomor induk kependudukan lalu akan memperoleh hasil pencarian data pemilih pemilu 2024. Hasil pencarian  menguraikan: nama pemilih, nomor induk kependudukan (diuraikan enam angka pertama sedangkan sepuluh lainya diberi tanda bintang), nomor kartu keluarga (diuraikan enam angka pertama sedangkan sepuluh lainya diberi tanda bintang), nomor TPS, nama  desa/kelurahan serta kecamatan. Apabila belum terdaftar atau menemukan nomor induk kependudukan yang terdaftar dua kali atau lebih maka dilakukan dua cara: pertama, menghubungi kantor kpu terdekat untuk melakukan pendaftaran; kedua, mendaftar secara mandiri melalui laporpemilih.kpu.go.id. Dengan dikembangkanya aplikasi tersebut diharapkan memudahkan pemilih dalam melakukan pengecekan pada daftar pemilih tanpa harus mendatangi kantor desa/kelurahan. Kemudahan pemilih dalam mengakses data tersebut tentunya harus didukung dengan penyebarluasan infromasi yang merata ke seluruh wilayah domisili pemilih baik di perkotaan, kecamatan, desa termasuk daerah terluar, terjauh, terdepan dengan wilayah perbatasan.  Penyebarluasan informasi tersebut dibutuhkan keterlibatan semua pihak, tidak hanya penyelenggara namun juga  stakeholder lain seperti peserta pemilu, pemerintah, media massa dan pemilih.   Menuju Daftar Pemilih Akurat Pendaftaran pemilih pada prinsipnya memenuhi tiga kriteria; kesatu, komprehensif artinya semua warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas tahun) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin; kedua, akurat artinya pemilih yang didaftar menguraikan data secara lengkap, paling sedikit memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat; ketiga, mutakhir artinya pendaftaran pemilih harus bersih dari data pemilih ganda, meninggal dunia, anggota TNI/Polri serta pemilih yang telah pindah domisili. Menuju penetapan DPT dalam waktu satu bulan yang akan dating diperlukan usaha konkrit dari berbagai pihak antara lain; 1) KPU, memproses lebih lanjut terhadap masukan dan tanggapan masyarakat juga pencermatan terhadap data pemilih ganda baik pemilih dalam begeri maupun dengan pemilih luar negeri; 2) peserta pemilu, melakukan pengecekan terhadap seluruh pengurus, anggota dan simpatisan untuk memastikan telah terdaftar sebagai pemilih pemilu 2024; 3) pemilih, melakukan pengecekan melalui papan pengumuman di desa/kelurahan maupun pengecekan mandiri melalui link cekdptonline.kpu.go.id. Terdaftarnya pemilih dalam daftar pemilih paling tidak akan memberikan jaminan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilih pada waktu pemungutan suara dan mengetahui lokasi TPS tempat untuk memilih. Penggunaan hak pilih tersebut berlaku untuk semua pemilih dengan tidak dibatasi kendala administrasi dan keterbatasan kondisi tertentu dari pemilih seperti pemilih disabilitas. Selanjutnya pemilih memperoleh pemahaman tentang tata cara memilih dalam pemilu agar hasil pilihanya sah dan mengurangi suara tidak sah hasil pemilu. Dengan demikian  target pelayanan penyelenggara yaitu melayani pemilih menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara tanggal 14 februari tahun 2024 akan dapat tercapai.      

Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Menuju Pemilu 2024

Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Menuju Pemilu 2024 Oleh Fransiskus Vincent Diaz*   Pengantar Ketentuan Pasal 14, 17 dan 20 Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017, menegaskan bahwa KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memerhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan pada pasal 202 ayat (1), disebutkan KPU Kabupaten/Kota menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk disandingkan dengan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Amanat UU Pemilu ini memberikan ruang yang sangat strategis kepada KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk memperbaiki data pemilih pasca Pemilu secara terus menerus. Jika tidak, dapat dipastikan data pemilih dari Pemilu ke Pemilu atau Pemilihan ke Pemilihan selalu menjadi momok yang menguras energi kelompok kepentingan dan juga penyelenggara Pemilu pasca hari pemungutan dan penghitungan suara. Persoalannya seputar pemilih tidak memenuhi syarat, seperti telah meninggal dunia, di bawah umur dan banyak pemilih ganda yang masih terdaftar dalam daftar pemilih. Demikian pun pemilih yang sejatinya telah memenuhi syarat, tapi tidak terdata dalam daftar pemilih.   Terhadap problematika data pemilih tersebut, pilihan mendata pemilih dengan pendekatan countinuous list pada masa non tahapan Pemilu, menjadi kebutuhan dan program kelembagaan KPU dalam upaya memperbaiki dan menyiapkan data pemilih yang semakin berkualitas pada hajatan Pemilu 2024 dan ajang Pemilu atau Pemilihan selanjutnya. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Semenjak tahun 2020 atau pasca Pemilu 2019, Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) mulai dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota, khususnya yang tidak melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2020. Beda dengan masa tahapan, kegiatan PDPB ini dilakukan dengan membangun koordinasi dengan instansi-instansi terkait, seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mendapatkan data layanan kependudukan, Kodim dan Polres untuk mendapatkan data TNI dan Polri yang memasukki masa purnatugas, Satgas Covid-19 dan rumah sakit untuk mendapatkan data kematian pasien, pihak sekolah untuk mendapatkan data pemilih pemula, pemerintah desa untuk mendapatkan updating data kependudukan setempat, juga instansi-instansi lainnya. Jajaran KPU Kabupaten/Kota pun membuka layanan kepada masyarakat secara online maupun offline untuk memberikan masukan terkait data pemilih yang tidak memenuhi syarat, pemilih baru dan perbaikan elemen data pemilih yang ada pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 untuk dimutakhirkan. Terhadap data pemilih meninggal dunia, jajaran KPU Kabupaten/Kota sebelum mencoretnya dari DPT, terlebih dahulu memverifikasi dokumen pendukung yang bersangkutan. Demikian pun untuk pemilih pemula atau pemilih baru, dipastikan pemenuhan syaratnya sebagaimana data-data yang tercantum dalam dokumen kependudukan yang berlaku, sebelum didaftarkan dalam daftar pemilih. Hal yang sama ini dilakukan pula terhadap pemilih yang diperbaiki elemen datanya. Hasil PDPB tersebut, selanjutnya direkap dan diumumkan ke publik setiap bulannya melalui media-media pengumuman yang ada. Dan setiap triwulan dilakukan rapat koordinasi dengan instansi terkait, Bawaslu Kabupaten/Kota dan partai politik. Kegiatan serupa ini kemudian diikuti 9 KPU Kabupaten di NTT yang telah menyelesaikan tahapan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2020. Berdasarkan data hasil rekapitulasi PDPB dari KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU RI merekapnya dan menyampaikan kepada para pihak pada forum Rapat Koordinasi tingkat provinsi dan tingkat nasional pada setiap semester. Sebagai gambaran, DPT Pemilu 2019 di Provinsi NTT sebesar 3.391.616 pemilih. Berdasarkan hasil PDPB dan direkap KPU Provinsi NTT pada semester I Tahun 2021, jumlah pemilih yang tersebar di 22 Kabupaten/Kota meningkat menjadi 3.414.345 pemilih atau naik 0,67% dari DPT 2019. Jumlah ini terus meningkat menjadi 3.487.661 pemilih atau naik 2,83% pada semester II tahun 2021. Dan sesuai rekap KPU Provinsi NTT per 5 Juli 2022 untuk hasil PDPB semester I tahun 2022, meningkat lagi menjadi 3.491.376 pemilih atau naik 2,94% dari DPT 2019. Sumber data: KPU Provinsi NTT (5/7/2022) Klik Untuk Download Butuh Partisipasi Penyelenggaraan PDPB sebagaimana dilaksanakan oleh jajaran KPU, berpedoman pada prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan, yakni 1) komprehensif: prinsip penyusunan daftar pemilih secara lengkap dan luas yang meliputi semua WNI yang memenuhi syarat sebagai pemilih yang berada di dalam negeri dan di luar negeri; 2) inklusif: prinsip yang mengikutsertakan kementrian, lembaga, pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lain dalam membantu kegiatan penyelenggaraan PDPB; 3) akurat: prinsip penyusunan daftar pemilih yang mampu memuat informasi terkini pemilih yang benar, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan; Prinsip lainnya yaitu, 4) mutakhir: prinsip penyusunan daftar pemilih berdasarkan informasi dan data pemilih yang terakhir dan terbaru; 5) terbuka: prinsip penyelenggaraan PDPB yang dilakukan secara terbuka untuk pemilih yang memenuhi syarat; 6) responsif: prinsip yang membuka kesempatan pemberian tanggapan terhadap masukan dalam penyelenggaraan PDPB; 7) partisipatif: prinsip yang membuka partisipasi seluas-luasnya kepada semua WNI untuk mengusulkan data pemilih dalam penyelenggaraan PDPB; 8) akuntabel: prinsip yang memberikan kejelasan fungsi dan tugas serta akuntabilitas dalam pelaksanaan dan penyusunan serta pelaporan hasil PDPB; 9) perlindungan data pribadi: prinsip yang memberikan perlindungan terhadap hak sipil dasar warga negara atas privasi data pribadinya. Terhadap prinsip-prinsip tersebut, entry poinnya adalah pentingnya partisipasi dari berbagai elemen masyarakat untuk memperbaiki data pemilih dari waktu ke waktu, sehingga hak politik warga negara yang telah memenuhi syarat didaftar sebagai pemilih. Salah satu kemudahan bagi warga negara untuk bisa berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan PDPB, yakni KPU RI telah menyiapkan aplikasi mobile lindungihakmu.kpu.go.id yang mudah diakses melalui play store di handphone android. Melalui aplikasi ini, pemilih dengan mudah mengecek telah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Jika belum, maka melalui fiture yang ada, pemilih dengan mudah mendaftarnya dengan bermodalkan KTP-el. Selain itu, pemilih juga dapat melaporkan pemilih lain yang dipastikan tidak lagi memenuhi syarat, seperti meninggal dunia, pindah domisili ke luar daerah, atau telah menjadi TNI/Polri. * Anggota KPU Provinsi NTT