Isi Kuliah Umum, Baharudin Soroti Makna Pemilu dan Tantangan Literasi Demokrasi
Kupang, ntt.kpu.go.id — Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Baharudin Hamzah, M.Si, menjadi narasumber dalam Kuliah Umum Program Magister Studi Pembangunan di Aula Pascasarjana Universitas Nusa Cendana (Undana), Senin (6/10).
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Direktur Pascasarjana Undana, Prof. Dr. Felix Tan, M.Ed. Moderator acara adalah Dr. Syukur M. Adang Djaha, M.AP, Ketua Gugus Kendali Mutu Program Magister Studi Pembangunan. Turut hadir Dr. I Putu Yoga Bumi Pradana, M.Si, selaku Koordinator Program Studi Pascasarjana Studi Pembangunan, serta civitas akademika Pascasarjana Undana.
Dalam kuliah umum bertajuk “Demokrasi, Politik, dan Tantangan Literasi Digital”, Baharudin menyampaikan pandangan mendalam tentang makna Pemilu dalam konteks demokrasi. Menurutnya, Pemilu bukan sekadar peristiwa politik rutin bagi warga negara untuk menunaikan kewajiban administratif, melainkan momen penting di mana rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada orang yang diyakini mampu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.
“Pemilu itu proses penyerahan kekuasaan rakyat di TPS. Di sana, pemilih menyerahkan mandat politiknya kepada individu yang dianggap bisa membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi, Pemilu tidak boleh dimaknai sebatas rutinitas formal, tetapi momentum penting bagi rakyat dalam menentukan arah negara,” tegas Baharudin.
Ia juga menyoroti rendahnya kualitas pendidikan politik di masyarakat yang berdampak pada lemahnya kesadaran pemilih terhadap konsekuensi pilihan politiknya. “Minimnya pendidikan politik menyebabkan pemilih tidak mampu menilai efek dari pilihannya. Akibatnya, kontrol publik pasca-Pemilu sangat rendah,” ujarnya.
Baharudin menegaskan pentingnya literasi dan pendidikan politik yang berkelanjutan untuk memperkuat fondasi demokrasi. “Negara yang rusak bukan hanya karena pemimpin yang jahat, tapi juga karena rakyat yang salah pilih. Dan kesalahan pilih itu seringkali lahir dari rendahnya pendidikan politik,” katanya. Ia menambahkan, tanpa pendidikan politik yang mencerdaskan, demokrasi bisa berubah menjadi “pasar gelap” tempat janji-janji politik diobral tanpa makna dan rakyat dibiarkan dalam ruang kosong tanpa kesadaran kritis.
Lebih lanjut, Baharudin juga menyinggung tantangan demokrasi di era disrupsi digital. Menurutnya, teknologi digital telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan Pemilu. KPU sebagai lembaga penyelenggara terus melakukan transformasi digital di berbagai tahapan, mulai dari perencanaan, logistik, hingga rekapitulasi suara.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa transformasi digital juga memerlukan literasi yang kuat di masyarakat agar tidak menimbulkan dampak negatif. “Digitalisasi membawa banyak kemudahan, tapi juga risiko. Tanpa literasi digital yang baik, ruang demokrasi bisa dimanfaatkan untuk penyebaran hoaks, disinformasi, bahkan manipulasi opini publik,” jelasnya.
Selain Baharudin Hamzah, kuliah umum ini juga menghadirkan narasumber dari Universitas Gadjah Mada, Bevaola Kusumasari, PhD, dosen pada bidang Manajemen dan Kebijakan Publik, yang membawakan sesi Praktikum Penggunaan AI dengan Laptop Peserta.
Kegiatan berlangsung dengan antusiasme tinggi dari peserta yang terdiri atas mahasiswa magister, dosen, dan tamu undangan. Diskusi berjalan dinamis dengan berbagai pertanyaan reflektif seputar demokrasi, partisipasi publik, dan peran literasi digital dalam memperkuat kualitas pemilu di Indonesia.