Berita Terkini

Isi Workshop Pendidikan Politik di PAN, Lodowyk Soroti Dampak Putusan MK Nomor 135 Tahun 2025

Kupang, ntt.kpu.go.id — Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Lodowyk Fredrik, menjadi narasumber dalam Workshop Pendidikan Politik dan Penguatan Kader Partai Amanat Nasional (PAN) yang diselenggarakan di Aula Rumah PAN NTT, Jalan Sam Ratulangi V, Kupang, pada Senin (6/10).

Kegiatan ini dibuka oleh pimpinan DPW PAN NTT dan dihadiri oleh para pengurus serta kader dari berbagai daerah. Workshop tersebut bertujuan untuk memperkuat pemahaman politik kader partai sekaligus memperkaya wawasan tentang arah demokrasi Indonesia pasca sejumlah perkembangan hukum dan kebijakan politik nasional.

Dalam pemaparannya, Lodowyk membawakan materi soal perjalanan panjang sejarah Pemilu dari mulai masa orde lama sampai dengan reformasi dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2025.

Lodowyk menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2025 merupakan momen penting dalam sejarah tata kelola demokrasi Indonesia. Putusan ini menegaskan kembali prinsip efektivitas dan rasionalitas penyelenggaraan Pemilu dengan menata ulang mekanisme pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

“Putusan MK ini menjadi refleksi atas dinamika demokrasi elektoral kita selama dua dekade terakhir. Pemisahan Pemilu memberi ruang untuk konsolidasi sistem politik dan memperkuat fokus pemilih dalam menentukan pilihan secara lebih rasional,” jelas Lodowyk.

Ia menambahkan, selama Pemilu serentak diberlakukan, beban logistik, teknis, dan psikologis pemilih meningkat secara signifikan. Kompleksitas tersebut sering kali berdampak pada penurunan kualitas partisipasi dan akurasi pilihan pemilih. “Dengan adanya pemisahan Pemilu, diharapkan kualitas demokrasi meningkat, sebab perhatian publik dapat lebih fokus pada isu-isu substantif, bukan sekadar beban administratif,” ujarnya.

Namun, Lodowyk juga mengingatkan bahwa pemisahan Pemilu tidak otomatis menjamin peningkatan kualitas demokrasi. Dibutuhkan penguatan kelembagaan, pendidikan politik yang berkelanjutan, serta kesiapan infrastruktur penyelenggaraan agar perubahan ini benar-benar berdampak positif.

“Demokrasi yang sehat bukan hanya ditentukan oleh desain sistem Pemilu, tetapi juga oleh kesadaran dan partisipasi warga negara. Pendidikan politik menjadi kunci agar masyarakat mampu berpikir kritis dan ikut mengawal setiap proses politik secara rasional,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa pasca-putusan MK tersebut, KPU perlu melakukan penyesuaian teknis dan perencanaan tahapan Pemilu secara komprehensif, termasuk dari sisi anggaran, logistik, dan manajemen waktu, agar implementasi sistem baru tetap efisien dan akuntabel.

Kegiatan ini berlangsung interaktif, dengan sejumlah pertanyaan dari peserta seputar implikasi putusan MK terhadap jadwal Pilpres dan Pileg, serta dampaknya terhadap peran partai politik di tingkat daerah. Lodowyk menutup paparannya dengan ajakan untuk menjadikan setiap momentum perubahan hukum sebagai bagian dari proses pendewasaan demokrasi bangsa.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 139 kali