
Perkuat Literasi Pemilih, KPU NTT Launching KPU Mengajar
Kupang, ntt.kpu.go.id — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Timur resmi meluncurkan program “KPU Mengajar” pada Kamis (28/8) di Kantor KPU Provinsi NTT, Kupang. Kegiatan dimulai pukul 10.00 WITA, dan diawali penampilan Tarian Moko Nona sebagai penguat identitas budaya NTT. Hadir Ketua KPU Provinsi NTT Jemris Fointuna serta Anggota Baharudin Hamzah (Kadiv Sosdiklih/pengampu kegiatan), Lodowyk Fredrik, Elyaser Lomi Rihi, dan Petrus Kanisius Nahak, bersama jajaran sekretariat dan mahasiswa serta siswa dari berbagai sekolah dan kampus.
Dalam arahannya, Jemris Fointuna menekankan pentingnya pendekatan pembelajaran yang sederhana, relevan, dan interaktif agar nilai-nilai demokrasi mudah dipahami pemilih pemula. “Materi harus dekat dengan keseharian peserta, memakai contoh lokal, dan disampaikan secara hidup melalui diskusi, simulasi, serta permainan edukatif. Tujuan kita bukan menumpuk teori, tetapi membangun pemahaman praktis dan motivasi untuk berpartisipasi,” ujar Jemris.
Sebagai pengampu kegiatan, Baharudin Hamzah selaku Kadiv Sosdiklih Parmas SDM, menegaskan perluasan makna partisipasi sekaligus arah pengembangan program. “Selama ini kita masih terjebak pada pikiran bahwa partisipasi hanya saat memberi suara di hari H. Padahal partisipasi sangat luas jangkauannya, mulai dari mengikuti diskusi publik, memantau tahapan, sampai ikut menjaga integritas proses,” tegas Bahar.
Ia menambahkan bahwa peluncuran KPU Mengajar ini menjadi pilot project yang harus diadopsi oleh KPU kabupaten/kota di seluruh NTT. “Kami menargetkan replikasi terukur melalui pemetaan sekolah dan kampus mitra, dan materi interaktif agar pesan pendidikan pemilih menjangkau seluruh wilayah di NTT,” sambungnya.
Menyoroti fondasi pengambilan keputusan politik, Lodowyk Fredrik menandaskan bahwa inti program adalah membentuk pemilih rasional. “Pilihan politik harus didasarkan pada akal sehat, menilai program, rekam jejak, dan kapasitas calon, harus rasional, tidak emosional, apalagi transaksional,” tandas Lodowyk.
Sementara itu, Elyaser Lomi Rihi menekankan urgensi literasi digital serta penolakan politik uang. “Menerima imbalan untuk satu suara sama artinya menggadaikan masa depan lima tahun. Anak muda perlu terampil memilah informasi valid dari hoaks dan propaganda,” kata Elyaser.
Melihatnya sebagai investasi jangka panjang, Petrus Kanisius Nahak mengingatkan tantangan politik uang, hoaks, isu identitas, dan variasi literasi politik. “Pendidikan pemilih tidak boleh hanya sebagai seremonial, hal ini harus berkelanjutan dan membuka ruang dialog,” imbuh Petrus.
Pada sesi tanya jawab, forum menegaskan dua hal praktis. Pertama, hak pilih bagi seseorang yang telah menikah namun belum berusia 17 tahun tetap diakui sepanjang perkawinannya sah dan tercatat, dengan demikian, yang bersangkutan dapat dimasukkan dalam DPT. Kedua, bagi WNI yang berada di luar negeri pada Pemilu nasional, pemungutan suara difasilitasi PPLN melalui TPS Luar Negeri (TPSLN), Kotak Suara Keliling (KSK), atau pos, dengan syarat terdaftar dalam DPT Luar Negeri (DPTLN). Adapun Pilkada tidak diselenggarakan di luar negeri, sehingga pemilih harus berada di wilayah pemilihannya pada hari pemungutan suara.
Sebagai tindak lanjut, KPU NTT menyiapkan modul KPU Mengajar versi sekolah dan kampus, membangun bank materi (slide, video singkat, kuis), serta menerapkan mekanisme umpan balik peserta untuk perbaikan berkelanjutan. Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama mereplikasi pilot project “KPU Mengajar” ke seluruh kabupaten/kota agar pendidikan pemilih di NTT berjalan semakin terukur, inklusif, dan berkesinambungan.